Kepercayaan Diri, Kematangan Emosi Dan Kompetensi Sosial Remaja Santri Pondok Pesantren

Selasa, Desember 13, 2011


Masa remaja merupakan suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi, terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan meng­hadapi kondisi baru. Oleh karena itu, sebagian besar remaja me­ngalami ketidak stabilan emosi dari waktu ke waktu sebagai konse­kwnsi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Mes­kipun emosi remaja sering sangat kuat, tidak terkendali, dan nam­paknya irrasional, te­tapi pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi perbaikan perilaku emo­sional.
Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam – macam pengaruh, seperti lingkungan tem­pat tinggal, keluarga, sekolah, dan teman – teman sebaya, serta aktivitas – aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari – hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat beraktivitas, me­m­buat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. 
Energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran. Hal ini menunjukkan betapa besar ge­jolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungan (Hurlock, 2000).

Pada kehidupan remaja akhir, kom­petensi sosial selain merupakan indeks dan prediktor bagi penyesuaian diri yang sehat, juga me-rupakan suatu dimensi dari evaluasi diri (Allen dkk, 1989). Kom­petensi sosial adalah suatu kemam­puan atau kecakapan seseorang untuk ber­hubungan dengan orang lain dan untuk ter­libat dalam situasi – situasi sosial dengan memuaskan (Hurlock, 2000). Kompetensi so­sial merupakan suatu sarana untuk dapat di­terima dalam masyarakat. De­ngan me­miliki kom­petensi sosial seseorang men­jadi peka terhadap berbagai situasi sosial yang dihadapi. Remaja akhir yang berhasil menghadapi tiap-tiap permasalahan sehubungan dengan tugas-tugas perkembangan, tuntutan ma­syarakat dan kejadian-kejadian hidup yang dialaminya, dengan cara-cara yang kom­peten akan meng­hasilkan bentuk pe­nyelesaian masalah atau tingkah laku koping matang yang akan mem­berikan konsekuensi untuk seluruh ke­hidupan­nya ke­lak setelah dewasa, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang­-orang di de­katnya (Allen dkk, 1989). Hal ini sangat penting dan menentukan sekali bagi tercapainya ke­puasan dan kebahagiaan hidup seseorang dan orang – orang di­sekitarnya. Dalam kehidupan sehari – hari se­ring dijumpai bahwa orang-orang yang mem­punyai kompetensi sosial yang baik akan cen­derung mempunyai penyesuaian diri yang baik pula.
Dalam suatu penelitiannya, Tentra­wanti (1989), mengemukakan bah­wa sese­orang yang mem­punyai kom­petensi sosial ada­lah orang – orang yang mampu melakukan dua hal, yaitu: (1). Mampu menghadapi kondisi – kondisi yang penuh dengan ketegangan, dan (2). Mampu menarik dan mem-pertahankan du-kungan sosial. Selanjutnya dalam su-atu penelitiannya, Tentrawati (1989), juga menge­mukakan bahwa se-seorang yang berkompetisi sosial, memiliki ciri – ciri: (a) Pengetahuan sosial, yaitu pengetahuan mengenai keadaan emosi yang memadai de­ngan konteks sosial tertentu, (b) Ke­percayaan diri untuk memulai suatu tin­dakan dan adanya usaha untuk me­mecahkan masalah sendiri, (c) Empati, yaitu kemam­puan meng-hargai perasaan orang lain sekalipun orang ter­sebut tidak dikenalnya atau tidak ada hubungan de­ngannya, juga mampu memberikan respon-respon emosional, mampu mengen­dalikan emosi dan tulus dalam men­jalin hubungan dengan orang – orang yang ber­masalah, (d) Sensitivitas sosial, yaitu kemam­puan emosional untuk menangkap ke­butuhan – kebutuhan ling­kungannya.
Kepercayaan diri atau keyakinan diri diartikan sebagai suatu kepercayaan terhadap diri sendiri yang dimiliki setiap in­dividu dalam kehidupannya, serta ba­gaimana individu ter­sebut memandang dirinya secara utuh dengan meng­acu pada konsep diri (Rakhmat, 2000). Lauster (da­lam Fasikhah, 1994), menyatakan bahwa kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas dalam tindakan-tindakan­nya, dapat merasa bebas untuk melakukan hal – hal yang di­sukainya dan bertanggung jawab atas per­buatannya, hangat dan sopan dalam berinteraksi de­ngan orang lain, dapat mene­rima dan meng­hargai orang lain, memiliki do­ro­ngan untuk berprestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangannya.
Menurut Lauster (dalam Fasikhah, 1994), terdapat beberapa karakteristik untuk menilai kepercayaan diri individu, diantara­nya: (a) Percaya kepada ke­mampuan sendiri, yaitu suatu keyakinan atas diri sendiri terhadap segala fenomena yang terjadi yang ber­hubungan de­ngan kemampuan individu untuk mengevaluasi serta mengatasi fenomena yang terjadi tersebut, (b) Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan, yaitu dapat ber­tindak dalam meng­ambil keputusan ter­hadap apa yang dilakukan se­cara mandiri tan­pa adanya keterlibatan orang lain. Se­lain itu, mempunyai kemampuan untuk me­­yakini tindakan yang diambilnya ter­sebut, (c) Memiliki konsep diri yang positif, yaitu adanya penilaian yang baik dari dalam din sendiri, baik dari pan­dangan maupun tindakan yang dilaku­kan yang menim­bulkan rasa positif terhadap diri sendiri, (d). Berani mengungkapkan pendapat, yaitu ada­nya suatu sikap untuk mampu meng­utarakan sesuatu dalam diri yang ingin diung­kap­kan kepada orang lain tanpa adanya paksaan atau hal yang dapat menghambat pengungkapan pera­saan ter­sebut.
Kematangan emosi dapat di-katakan sebagai sebagai suatu kondisi pe­rasaan atau reak­si perasaan yang stabil terhadap suatu objek permasalahan se­hingga untuk mengam­bil suatu keputusan atau bertingkah laku didasari dengan suatu pertimbangan dan tidak mudah berubah – ubah dari satu suasana hati ke dalam suasana hati yang lain (Hurlock, 2000). Sedangkan Yusuf (2001), mendefi­nisikan kematangan emo­si adalah kemampuan in­dividu untuk dapat ber­sikap toleran, me­rasa nyaman, mempunyai kontrol diri sendiri, pera­saan mau menerima di­ri­nya sendiri dan orang lain, serta mampu me-nyatakan emosinya se­ca­ra konstruktif dan kreatif.
Menurut Hurlock (2000), terdapat 3 ciri dalam mendefinisikan kematangan emosi pada remaja, yaitu: (a) Emosinya tidak meledak – ledak dihadapan orang lain, melain­kan menung­gu saat dan tem­pat yang lebih tepat untuk me­ngung­kapkan emosinya dengan cara yang lebih dapat diterima, (b) Menilai situasi secara kri­tis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emo­sional, (c) Memiliki reaksi emosional yang stabil.
Perkembangan emosi dalam diri sese­orang akan mengalami peningkatan me­nuju kema­tangan emosi seiring dengan tahap – tahap perkembangan yang dialami. Namun demikian kematangan emosi dapat dicapai pada periode remaja awal, yaitu usia 13 atau 14 – 17 tahun. Kematangan emosi ini dialami pula oleh remaja yang berada di dalam Pondok Pesantren.
Lembaga Pendidikan Pondok Pe­santren adalah sebuah sistem yang unik. Memiliki sistem pembelajaran, pandangan hidup, tata nilai yang dianut, cara hidup ya­ng ditempuh, struktur pembagian ke­wenangan, dan semua aspek – aspek kependidikan dan kemasyarakatan lainnya yang unik dalam setiap pondok pesantren.
Menurut Departemen Agama RI (2003), pondok pesantren adalah lembaga pendidikan agarna Islam yang minimal terdiri dari 5 unsur, yaitu: (a) Ky­ai/Syekh/Ustadz yang mendidik dan me­ngajar, (b) Santri, (c) Pengajian, (d) Asrama, dan (e) Masjid dengan segala ak­tivitas pendi­dikan keagamaan dan ke­masyarakatan.
Remaja pondok pesantren adalah remaja yang tinggal di dalam pondok pesantren untuk menempuh pendidikan, khu­susnya pendidikan agama Islam dan biasa disebut Santri.
Menurut Dhofier (dalam Al-fiyanidah, 2006), yang mengemukakan adanya 3 alasan berkenaan dengan me-ngapa ada sebagian rema­ja bermukim di pe­santren, yaitu: (a) Mereka ingin mem­pelajari kitab – kitab lain membahas Islam secara mendalam dibawah bimbingan Kyai yang memimpin pondok pesantren, (b) Me­reka ingin memperoleh pengalaman ke-hidupan, baik di dalam bidang pengajaran, keor­ganisasian, maupun dengan pesantren – pesan­tren yang terkenal, (c) Mereka ingin me­musatkan belajar di pondok pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban sehari – hari dirumah/keluarga.


0 komentar: