Masa remaja merupakan suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi, terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Oleh karena itu, sebagian besar remaja mengalami ketidak stabilan emosi dari waktu ke waktu sebagai konsekwnsi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Meskipun emosi remaja sering sangat kuat, tidak terkendali, dan nampaknya irrasional, tetapi pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi perbaikan perilaku emosional.
Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam – macam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, dan teman – teman sebaya, serta aktivitas – aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari – hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat beraktivitas, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif.
Energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungan (Hurlock, 2000).
Pada kehidupan remaja akhir, kompetensi sosial selain merupakan indeks dan prediktor bagi penyesuaian diri yang sehat, juga me-rupakan suatu dimensi dari evaluasi diri (Allen dkk, 1989). Kompetensi sosial adalah suatu kemampuan atau kecakapan seseorang untuk berhubungan dengan orang lain dan untuk terlibat dalam situasi – situasi sosial dengan memuaskan (Hurlock, 2000). Kompetensi sosial merupakan suatu sarana untuk dapat diterima dalam masyarakat. Dengan memiliki kompetensi sosial seseorang menjadi peka terhadap berbagai situasi sosial yang dihadapi. Remaja akhir yang berhasil menghadapi tiap-tiap permasalahan sehubungan dengan tugas-tugas perkembangan, tuntutan masyarakat dan kejadian-kejadian hidup yang dialaminya, dengan cara-cara yang kompeten akan menghasilkan bentuk penyelesaian masalah atau tingkah laku koping matang yang akan memberikan konsekuensi untuk seluruh kehidupannya kelak setelah dewasa, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang-orang di dekatnya (Allen dkk, 1989). Hal ini sangat penting dan menentukan sekali bagi tercapainya kepuasan dan kebahagiaan hidup seseorang dan orang – orang disekitarnya. Dalam kehidupan sehari – hari sering dijumpai bahwa orang-orang yang mempunyai kompetensi sosial yang baik akan cenderung mempunyai penyesuaian diri yang baik pula.
Dalam suatu penelitiannya, Tentrawanti (1989), mengemukakan bahwa seseorang yang mempunyai kompetensi sosial adalah orang – orang yang mampu melakukan dua hal, yaitu: (1). Mampu menghadapi kondisi – kondisi yang penuh dengan ketegangan, dan (2). Mampu menarik dan mem-pertahankan du-kungan sosial. Selanjutnya dalam su-atu penelitiannya, Tentrawati (1989), juga mengemukakan bahwa se-seorang yang berkompetisi sosial, memiliki ciri – ciri: (a) Pengetahuan sosial, yaitu pengetahuan mengenai keadaan emosi yang memadai dengan konteks sosial tertentu, (b) Kepercayaan diri untuk memulai suatu tindakan dan adanya usaha untuk memecahkan masalah sendiri, (c) Empati, yaitu kemampuan meng-hargai perasaan orang lain sekalipun orang tersebut tidak dikenalnya atau tidak ada hubungan dengannya, juga mampu memberikan respon-respon emosional, mampu mengendalikan emosi dan tulus dalam menjalin hubungan dengan orang – orang yang bermasalah, (d) Sensitivitas sosial, yaitu kemampuan emosional untuk menangkap kebutuhan – kebutuhan lingkungannya.
Kepercayaan diri atau keyakinan diri diartikan sebagai suatu kepercayaan terhadap diri sendiri yang dimiliki setiap individu dalam kehidupannya, serta bagaimana individu tersebut memandang dirinya secara utuh dengan mengacu pada konsep diri (Rakhmat, 2000). Lauster (dalam Fasikhah, 1994), menyatakan bahwa kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas dalam tindakan-tindakannya, dapat merasa bebas untuk melakukan hal – hal yang disukainya dan bertanggung jawab atas perbuatannya, hangat dan sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, dapat menerima dan menghargai orang lain, memiliki dorongan untuk berprestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangannya.
Menurut Lauster (dalam Fasikhah, 1994), terdapat beberapa karakteristik untuk menilai kepercayaan diri individu, diantaranya: (a) Percaya kepada kemampuan sendiri, yaitu suatu keyakinan atas diri sendiri terhadap segala fenomena yang terjadi yang berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengevaluasi serta mengatasi fenomena yang terjadi tersebut, (b) Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan, yaitu dapat bertindak dalam mengambil keputusan terhadap apa yang dilakukan secara mandiri tanpa adanya keterlibatan orang lain. Selain itu, mempunyai kemampuan untuk meyakini tindakan yang diambilnya tersebut, (c) Memiliki konsep diri yang positif, yaitu adanya penilaian yang baik dari dalam din sendiri, baik dari pandangan maupun tindakan yang dilakukan yang menimbulkan rasa positif terhadap diri sendiri, (d). Berani mengungkapkan pendapat, yaitu adanya suatu sikap untuk mampu mengutarakan sesuatu dalam diri yang ingin diungkapkan kepada orang lain tanpa adanya paksaan atau hal yang dapat menghambat pengungkapan perasaan tersebut.
Kematangan emosi dapat di-katakan sebagai sebagai suatu kondisi perasaan atau reaksi perasaan yang stabil terhadap suatu objek permasalahan sehingga untuk mengambil suatu keputusan atau bertingkah laku didasari dengan suatu pertimbangan dan tidak mudah berubah – ubah dari satu suasana hati ke dalam suasana hati yang lain (Hurlock, 2000). Sedangkan Yusuf (2001), mendefinisikan kematangan emosi adalah kemampuan individu untuk dapat bersikap toleran, merasa nyaman, mempunyai kontrol diri sendiri, perasaan mau menerima dirinya sendiri dan orang lain, serta mampu me-nyatakan emosinya secara konstruktif dan kreatif.
Menurut Hurlock (2000), terdapat 3 ciri dalam mendefinisikan kematangan emosi pada remaja, yaitu: (a) Emosinya tidak meledak – ledak dihadapan orang lain, melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara yang lebih dapat diterima, (b) Menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, (c) Memiliki reaksi emosional yang stabil.
Perkembangan emosi dalam diri seseorang akan mengalami peningkatan menuju kematangan emosi seiring dengan tahap – tahap perkembangan yang dialami. Namun demikian kematangan emosi dapat dicapai pada periode remaja awal, yaitu usia 13 atau 14 – 17 tahun. Kematangan emosi ini dialami pula oleh remaja yang berada di dalam Pondok Pesantren.
Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren adalah sebuah sistem yang unik. Memiliki sistem pembelajaran, pandangan hidup, tata nilai yang dianut, cara hidup yang ditempuh, struktur pembagian kewenangan, dan semua aspek – aspek kependidikan dan kemasyarakatan lainnya yang unik dalam setiap pondok pesantren.
Menurut Departemen Agama RI (2003), pondok pesantren adalah lembaga pendidikan agarna Islam yang minimal terdiri dari 5 unsur, yaitu: (a) Kyai/Syekh/Ustadz yang mendidik dan mengajar, (b) Santri, (c) Pengajian, (d) Asrama, dan (e) Masjid dengan segala aktivitas pendidikan keagamaan dan kemasyarakatan.
Remaja pondok pesantren adalah remaja yang tinggal di dalam pondok pesantren untuk menempuh pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam dan biasa disebut Santri.
Menurut Dhofier (dalam Al-fiyanidah, 2006), yang mengemukakan adanya 3 alasan berkenaan dengan me-ngapa ada sebagian remaja bermukim di pesantren, yaitu: (a) Mereka ingin mempelajari kitab – kitab lain membahas Islam secara mendalam dibawah bimbingan Kyai yang memimpin pondok pesantren, (b) Mereka ingin memperoleh pengalaman ke-hidupan, baik di dalam bidang pengajaran, keorganisasian, maupun dengan pesantren – pesantren yang terkenal, (c) Mereka ingin memusatkan belajar di pondok pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban sehari – hari dirumah/keluarga.
0 komentar:
Posting Komentar