Fonetik dan Fonologi Bahasa Inggris: Sebuah Tinjauan

Selasa, Maret 27, 2012

Sebuah ungkapan menarik dicetuskan oleh April Mc Mahon dalam pendahuluan buku Introduction of English Phonology, bahwa seyogyanya manusia lebih pantas disebut dengan istilah homo loquens (makhluk yang berbicara) daripada nama ilmiah homo sapiens (makhluk yang berfikir) yang sudah populer. Hal ini dikarenakan karena banyak spesies memiliki sistem isyarat berlandaskan bunyi atau suara dan dapat berkomunikasi dengan anggota lainnya semisal isyarat bunyi tentang bahaya dan makanan. Manusia sendiri juga menggunakan bunyi sebagai isyarat linguistik dan kemampuannya jauh lebih berkembang. Struktur organ suara manusia sanggup menghasilkan beragam bunyi dengan cara yang beragam pula. Salah satu keunikannya yang bisa dilihat adalah antarbahasa memiliki sejumlah bunyi yang berbeda dan ada kecenderungan untuk lebih banyak atau lebih sedikit dari bahasa lainnya.

Bidang kajian bahasa yang mengeksplorasi sistem bunyi ini disebut fonetik-fonologi. Pertanyaan yang sering diajukan dan menjadi topik besar dalam kajian fonologis dan fonetik, setidaknya sejak esai Joshue Steele, The Melody and Measure of Speech (dalam April McMahon: 2002) adalah bagaimana varian titi nada (pitch) yang dihasilkan manusia dikaji dalam ilmu bahasa.

Tiap bahasa memiliki sistem bunyi dan stuktur silabel yang berbeda dengan kerumitan yang beragam. Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa yang memiliki ejaan yang cukup rumit dan memiliki beberapa silabel-silabel yang sangat kompleks sehingga sangat perlu mempelajari pengucapan kata-kata bahasa Inggris dalam kaitan fonem daripada huruf-huruf alfabetnya. Buku English Phonetics and Phonology karya Peter Roach, seorang profesor emeretus Fonetik di Universitas Reading mencoba menawarkan sebuah penjelasan dalam memahami fonetik-fonologi, terutama dalam bahasa Inggris.

Secara umum, sistematika pembahasan dalam uraian buku ini dibagi dalam 20 bagian pembahasan. Secara sistematis bab satu–tujuh mengenalkan konsonan dan vokal dengan teori fonetik dan fonemik yang cukup relevan. Bab delapan dan sembilan membahas silabel beserta pembagiannya menjadi silabel kuat dan silabel lemah yang seringkali menyebabkan kesulitan bagi penutur asing. Bab 10 dan 11 membahas stressing (tekanan) dalam simple words dan complex words berserta afiks infleksional dan derivasional. Bab 12 lebih fokus terhadap tingkatan rima dan aksen/stress kalimat dengan bentuk-betuk lemahnya. Bab 13 mengkaji sejumlah problematika dalam analisis fonemik dan mengenalkan fitur-fitur distingtif fonologi bahasa Inggris. Bab 14–19 membahas sejumlah aspek suprasegmental khususnya intonasi. Bab terakhir membahas beberapa area studi dalam fonetik dan fonologi dan studi tentang dialek.

Salah satu kompleksitas bahasa Inggris adalah triftong (triphthong). Ia lebih sulit diucapkan dan sulit untuk dikenali. Berbeda dengan diftong yang berbunyi dua rangkap untuk satu silabel, triftong adalah luncuran satu vokal menuju vokal kedua dan ketiga, dan diucapkan secara cepat (hlm. 23). Sebagai contoh, pengucapan kata hour kualitas vokal mirip ɑ: yang meluncur melalui area vokal belakang bundar (salah satu simbol yang digunakan adalah ʊ), kemudian diakhiri dengan vokal tengah/mid-central (ə). Simbol [aʊə] digunakan dalam pengucapakan hour.
Kesulitan bagi penutur asing terhadap bahasa Inggris modern adalah pergerakan vokal yang sangat kecil, kecuali dalam pengucapan yang hati-hati. Karena itulah, vokal tengah dalam tiga vola triftong sulit didengar dan suara yang dihasilkan sulit dibedakan dari beberapa diftong dan vokal panjang.

Pembahasan menarik yang diperbincangkan oleh Roach adalah problematika dalam analisis fonetis bahasa Inggris (bab. 13). Pandangan umum bahwa tuturan tersusun dari fonem dan di manapun bunyi diproduksi sangat dimungkinkan untuk mengenali fonemnya memang sepenuhnya benar namun terdapat problematika teoritis yang patut dipertimbangkan.

Menurut Roach ada dua problem teoritis yang terjadi, yakni dari perspektif analisis dan assignment (penempatan). Fonem merupakan satuan unit paling dasar dari bahasa namun ada beberapa kesulitan untuk menentukan fonem yang tepat dalam bahasa tersebut, utamanya bahasa Inggris. Akibatnya adalah beberapa penulis menghasilkan analisis sistem fonemik yang berbeda. Analisis fonemik tidak begitu rigid dan sederhana sebagaimana mempelajari huruf-huruf alfabet. Sebagai contoh adalah simbol ʧ dan ʤ dalam kosa kata church dan judge. Keduanya adalah bunyi letup (plosive) yang diikuti afrikatif. ada dua analisis yang muncul di sini yakni keduanya merupakan fonem konsonan tunggal dan analisis lainnya menganggap bahwa keduanya adalah dua fonem konsonan yang indipenden (t+ʃ dan d+ʒ). Hal ini akan menimbulkan kerancuan pemahaman meski tidak berujung pada perbedaan makna. Apalagi, masih menurut Roach, penutur asing yang awan bahasa Inggris menganggap keduanya merupakan satu bunyi, senada dengan analisis pertama.

Dari problematika assigment, Roach mencoba menampilkan salah satu contoh dalam uraian silabel kuat dan lemah (bab sembilan). Bunyi ɪ dan i, dalam beberapa konteks, jelas berbeda, namun di konteks lainnya terdapat kesulitan menentukan bunyi. Dalam Menentukan ɪ dan i dalam kata beat dan bit masih lebih mudah daripada menentukan bunyi silabel kedua dari kata easy dan busy dalam salah satu dialek bahasa Inggris, dialek Wales. Ada dua kemungkian penentuan fonem dalam kosa kata tersebut, yakni easy = /i:zi/+/i:zɪ/ dan busy = /bɪzi/+/bɪzɪ/. Hal ini juga terjadi dalam penentuan bunyi fonem u dan ʊ. Bilamana dalam penentuan bunyi untuk kata to, dalam kalimat good to eat dan food to eat, diucapkan dengan vokal ʊ sebagaimana fonem untuk good dan vokal u: sebagaimana fonem untuk food, maka penentuan vokal apakah untuk kata ‘to’ dalam kata I want to?

Musthafa Amin

0 komentar: