A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama
yang didasarkan kepada dua sumber; Alquran dan
Hadis tidak hanya berupa doktrin-doktrin teologis maupun
doktrin sosial, tetapi lebih dari pada itu, Islam juga melahirkan
peradaban. Peradaban yang dilahirkan oleh Islam melalui cendikiawan
dan intelektualnya tidak hanya berwujud tradisi pemikiran,
tetapi juga berupa arsitektur yang masih dapat disaksikan dewasa
ini. Hal ini membuktikan bahwa Islam sebagai agama telah memberikan
etos kerja yang begitu besar bagi penganutnya.
Pada zaman keemasan Islam,
para intelektual muslim telah mengadakan proses transfer
ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban. Pada saat itu,
proses intelektual berjalan dengan lancar yang
didukung oleh pemerintah Islam, sehingga melahirkan sarana intelektual
seperti sekolah, perguruan tinggi dan perpustakaan. Hal ini menjadikan
Islam maju di bidang peradaban. Di bidang sains, seperti kedokteran,
matematika, astronomi, dan lain-lain seperti filsafat yang kemudian
melahirkan keahlian dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan[1].
Pada abad ke-13,
kemajuan peradaban umat Islam mendapat perhatian
oleh orang-orang Barat, sehingga mereka berdatangan ke dunia
Islam untuk belajar sains, baru kemudian mereka kembangkan. Pada
abad ke kesembilan belas, dimana dunia Islam sudah mengalami kemunduran,
orang-orang Barat datang lagi ke dunia Islam yang kedua
kalinya dengan membawa sains dan teknologi yang pernah mereka
pelajari di dunia Islam pada abad ketiga belas setelah mereka kembangkan
selama enam abad[2].
Meskipun dunia Islam
mengalami kemunduran dan Barat mengalami
kemajuan, tetapi dunia Islam pada saat itu, masih menyimpan
khasanah peradaban. Hal ini menjadikan orang-orang Barat
yang memiliki sains dan teknologi tertarik untuk mengembangkan
keahliannya dalam meneliti dan mengenali kembali dunia
Islam, sehingga lahirlah orang Barat yang ahli di bidang ketimuran yang disebut dengan orientalis. Ketertarikan untuk mengetahui dan mengenal
kembali dunia Islam itu, tidak terlepas dari tendensi
politis, ekonomi, agama maupun akademik. Kemudian dalam perkembangan
selanjutnya, lahirlah karya-karya oritentalis dalam bidang
arkeologi, sejarah, bahasa, agama, kesusatraan, etnologi, kemasyarakatan,
adat istiadat, politik, ekonomi, lingkungan dan lain-lain[3].
Karya-karya para
orientalis di bidang agama maupun di bidang disiplin
ilmu lainnya, berpengaruh kepada pemikiran intelektual muslim
dewasa ini[4], karena dianggap
ilmiah, rasional, berpikiran maju, berperikemanusiaan, dan karenanya
lebih unggul dari dunia orient (Timur, termasuk Islam) yang
disebut memiliki ciri statis, irrasional, dan terkebelakang[5]. Meskipun
pada dasarnya penyataan ini – menurut Edwar
Said–adalah dogma orietalis. Oleh karena itu, berbagai karya-karya
memperingatkan umat Islam bahwa orientalis pada dasarnya yang
berlindung dibalik "selimut objektivitas ilmiah" dan penelitian yang
bersifat rasional menyisipkan agendanya untuk membendung pengaruh
Islam. Meskipun pada abad ini telah muncul beberapa nama orientalis
yang dianggap memiliki kecendrungan positif kepada peradaban
Islam. Salah satu di antaranya adalah Montgomery Watt.
Meskipun demikian,
sejarah Indonesia mencatat bahwa nama-nama orientalis
yang menganggap rendah ajaran Islam antara lain Hendrik Kraemer
dan Snouck Hurgronje. Keduanya meragukan agama Islam mengantarkan
Indonesia ke dunia modern[6].
Mentalitas orientalis
seperti ini pada dasarnya merupakan merupakan warisan
dari abad pertengahan, akibat kekalahan di pihak Kristen dalam
perang salib. Tulisan ini
berusaha untuk membahas tentang latar belakang, dorogan, tahapan,
kecenderungan, ruang lingkup serta pendekatan yang lazim dilakukan kalangan
orientalist dalam pengkajian terhadap agama Islam, serta relevansinya dengan
kecenderungan-kecenderungan baru dalam pengkajian Islam kontemporer.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu:
1. Apakah
studi Islam orientalist?
2. Apakah
latar belakang studi Islam orientalist?
3. Apakah
dorongan studi Islam orientalist?
4. Apakah
pendekatan yang digunakan dalam studi Islam orientalist?
5. Apakah
relevansi kajian studi Islam orientalist?
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Orientalist
Orientalis adalah kata
serapan dari bahasa Perancis yang asal katanya
adalah orient yang berarti "Timur". Secara gegorafis, kata ini dapat
diartikan "dunia Timur" dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa di
timur[1]. Kata
orient itu telah memasuki berbagai bahasa di Eropa,
termasuk bahasa Inggris. Oriental adalah sebuah
kata sifat yang bermakna; hal-hal yang bersifat timur, yang teramat
luas ruang lingkupnya.
Orientalis adalah kata
nama pelaku yang menunjukkan seorang yang ahli
tentang hal-hal yang berkaitan dengan "timur". Sedangkan kata
orientalisme (Belanda) ataupun orietalism (Inggris) menunjukkan pengertian
tentang suatu paham. Jadi orientalisme berarti sesuatu paham,
atau aliran, yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan
dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya[2]. Selain dari pada itu,
Edward W. Said memahami orientalis sebagai suatu cara untuk memahami dunia Timur,
berdasarkan tempatnya yang khusus menurut pengalaman orang
Barat Eropa[3].
Atau dengan kata lain orientalisme adalah suatu gaya
berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis
yang dibuat antara "Timur" (the Orient) dan (hamper selalu)
Barat (the Occident).
Oleh karena itu,
meskipun orientalis memiliki makna yang luas, yaitu
segala sesuatu yang berkaitan langsung dengan bangsa-bangsa Timur
beserta lingkungannya sehingga meliputi seluruh bidang kehidupan,
namun secara sempit, orientalis dapat diartikan sebagai kegiatan
ahli ketimuran Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya
agama Islam.
Kegiatan
penyelidikan dalam bidang tersebut telah berlangsung selama
berabad-abad secara sporadik, tetapi baru memperlihatkan intentitasnya
yang luar biasa sejak abad ke 19 Masehi. Sikap dan pandangan
terhadap masing-masing agama di Timur, khususnya agama
Islam, sangat berbeda-beda menurut sikap mental orintelis itu.
2. Latar
Belakang Munculnya Orientalist
Sebagaimana yang telah
dimaklumi bahwa hubungan atau kontak antara timur
dengan Barat telah terjalin sejak ribuan tahun silam
yang ditandai dengan perbenturan kepentingan maupun permusuhan.
Sekitar tahun 600-330 SM telah terjadi hubungan perebutan
kekuasaan antara Grik Tua dengan dinasti Achaemendis dari
Imperium Parsi sejak masa pemerintahan Cyrus the Great (550-530 SM). Akibat
kepentingan ini mendorong masing-masing pihak untuk
saling mengenal dengan yang lainnya. Hubungan antara Timur dan
Barat ini meninggalkan sebuah karya yang ditulis oleh Xenophon (431-378
SM) yang berjudul Anabasis yang mengisahkan 10.000 pasukan
Grik yang terkepung di daerah Parsi[4].
Selanjutnya, ketika
Yunani dan Romawi berhasil melakukan invasi ke
Mesir, Aleksander menguasi kota Aleksandria. Kota ini dibangun
oleh Aleksander Agung. Di masa ini penduduk yang ditaklukkan
diwajibkan berpradaban Yunani, yang kemudian dikenal dengan
hellenisme[5].
Setelah agama Islam
lahir dan berhasil mengembangkan pengaruhnya, bahkan dapat
mendirikan kerajaan di Andalusia (Spanyol) pada awal abad ke
8 Masehi, peradaban Islam menjadi sumber cahaya yang menerangi
dunia. Di Andalusia pendidikan mencapai peringkat kemajuan
tertinggi, tetapi kemudian mundur dan menjadi
kerajaan Granada. Meskipun demikian, kota ini pernah menjadi
pusat peradaban dunia Barat yang kemudian dihancurkan oleh
Kristen Eropa pada tahun 1492 M[6].
Selain daripada itu,
pada masa keemasan Islam perkembangan intelektual
di kalangan umat Islam sangat menonjol sehingga berhasil membangun
berbagai perguruan Tinggi Islam. Sejarah mencatat ada empat
pertuguruan Tinggi tertua di dunia Islam. Perguruan Tinggi tertua
dunia Islam dibelahan Timur berkedudukan di Baghdad (Irak) dan
di Kairo (Mesir). Adapun perguruan Tinggi di belahan dunia Barat,
berkedudukan di Kordova (Andalusia) dan Fes (Marokko).
Keempat perguruan
tinggi yang dimaksud adalah Nizamiyah, Al- Azhar,
Cordova dan Kairawan. Keempat perguruan tinggi Islam inilah yang
sangat mempengaruhi minat Barat terhadap Dunia Timur (Islam)[7].
Sejak masa pemerintahan
Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) yang
berkedudukan di Damaskus diinstruksikan penggantian
penggunaan bahasa untuk arsip-arsip resmi pemerintah dari
bahasa setempat (Pahlevi, Kpti, Grik, Latin) ke bahasa Arab, maka
sejak itu bahasa Arab telah menjadi lingua prance dalam hubungan-hubungan
diplomatik, dagang, surat menyurat resmi, dunia kesusatraan
dan kebudayaan, dunia ilmiah dan filsafat[8]. Oleh karena itu sejarah
mencatat bahwa pada masa-masa damai sering terjadi
perutusan diplomatik kaisar-kaisar Bizantium ke Bangdad
ibu kota Daulah Abbasiyah sekitar tahun (750-1258) di belahan
Timur. Demikian pula raja-raja Eropa, mengirimkan perutusannya
ke Cordova, ibu kota Daulat Bani Umaiyyah (756-1031) di
belahan Barat. Setiap kali perutusan itu senantiasa membawa berita tentang
hal-hal yang menakjubkan, yang disaksikannya di ibu kota-ibukota dunia Islam
itu[9].
Selain faktor politik
tersebut, andil faktor ekonomi memainkan peran.
Oleh karena itu para penguasa di Barat itu merasa berkepentingan
pada masa-masa dami untuk mengikat persahabatan dengan
pihak penguasa Islam, karena jalur perdagangan dari benua Timur,
baik jalan Sutera maupun jalan laut, dikuasi oleh pemerintah Islam.
3.
Dorongan studi Islam Orientalist
Hal-hal yang mendorong kaum orientalis barat untuk
menyelidiki dan mempelajari tentang ketimuran sebagai berikut[10]
:
a.
Dorongan Keagamaan
Untuk
menyelidiki benar tidaknya dorongan keagamaan, menjadi salah satu dorongan yang
mendorong para ahli ketimuran menyelidiki dan meneliti tentang hal timur, dapat
diteliti siapa saja dan dari golongan mana yang menjadi orang pertama yang
memulai mempelajari hal timur. Yang dimaksud, yaitu hal keIslaman, hal keadaan
kaum muslimin, peradaban, kehidupan dan penghidupannya. Mereka itu adalah dari
Vatikan, tegasnya dari pendeta-pendeta Roma Katolik. Para Paus, Uskup dan
pendeta Katolik yang memulai mengatur dan mengembangkan orientalisme. Dan
dengan pengaruh mereka, lalu raja-raja dan penguasa-penguasa Eropa tertarik
pada orientalisme.
Jadi dapat diketahui bahwa kaum orientalis yang terdahulu telah memanfaatkan hasil penelitiannya tentang agama Islam dan yang berhubungan dengan agama Islam, secara positif dan negatif. Dan banyak melontarkan hasil penelitian yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan membawa pengaruh yang jelek.
Jadi dapat diketahui bahwa kaum orientalis yang terdahulu telah memanfaatkan hasil penelitiannya tentang agama Islam dan yang berhubungan dengan agama Islam, secara positif dan negatif. Dan banyak melontarkan hasil penelitian yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan membawa pengaruh yang jelek.
b.
Dorongan Penjajahan
Ketika
berakhirnya Perang Salib, dengan kekalahan kaum Salib, pada saat itu merupakan
perang agama dan pada hakekatnya perang penjajahan, orang-orang Barat tidak
mudah putus asa untuk kembali menduduki negeri-negeri Arab dan orang Islam.
Sewaktu kekuatan militer dan politik sudah berada dalam tangan mereka, lalu di
antara yang mendorong orientalisme itu ialah untuk melemahkan perlawanan jiwa
dan cita-cita dari kaum muslimin.
Dengan penelitian hal ketimuran yang di dorong oleh dorongan penjajahan, kita melihat bagaimana mereka menyampaikan konsep politik penjajahan kepada pemerintah yang menjajah negeri-negeri timur umumnya dan negeri-negeri Islam.
Dengan penelitian hal ketimuran yang di dorong oleh dorongan penjajahan, kita melihat bagaimana mereka menyampaikan konsep politik penjajahan kepada pemerintah yang menjajah negeri-negeri timur umumnya dan negeri-negeri Islam.
c.
Dorongan Perniagaan dan Ekonomi
Dorongan
ini nyata sekali bagi negeri-negeri industri yang memerlukan pasaran untuk
melemparkan hasil industrinya. Mereka harus meneliti kesukaan negeri-negeri yang
jadi sasarannya. Kaum orientalis yang terdorong penelitiannya tentang Timur
oleh dorongan ekonomi dan perniagaan, harus bekerja keras, agar tidak
ketinggalan. Mereka harus menempuh cara-cara baru yang menguntungkan kedua
pihak atau segala pihak, dengan memberikan pinjaman, persahabatan dan
sebagainya demi kepentingan ekonomi dan perniagaan.
d.
Dorongan Politik
Dorongan
ini menonjol pada masa sekarang sesudah negeri-negeri Islam dan negeri-negeri
Timur umumnya mencapai kemerdekaannya. Pada masa sekarang, setelah berkembang
blok timur dan blok barat, maka masing-masing dari mereka berusaha mempengaruhi
akan masyarakat di mana mereka ditempatkan untuk keuntungan politik dari
negaranya.
Kaum orientalis yang ahli tentang ketimuran itu dengan mudah memasukkan jarumnya ke negeri-negeri timur. Demikian hebat pengaruh Barat tanpa disadari menusuk ke dalam jantung kebudayaan Indonesia, karena halusnya politik kebudayaan Barat yang diatur oleh para ahli dalam kebudayaan Barat. Dengan dorongan politik itu, dapat dihembuskan semangat perpecahan di antara sesama bangsa yang satu agama dan di antara bangsa yang berlainan agama.
Kaum orientalis yang ahli tentang ketimuran itu dengan mudah memasukkan jarumnya ke negeri-negeri timur. Demikian hebat pengaruh Barat tanpa disadari menusuk ke dalam jantung kebudayaan Indonesia, karena halusnya politik kebudayaan Barat yang diatur oleh para ahli dalam kebudayaan Barat. Dengan dorongan politik itu, dapat dihembuskan semangat perpecahan di antara sesama bangsa yang satu agama dan di antara bangsa yang berlainan agama.
e.
Dorongan Ilmiah
Dr.
Mustafa as-Siba’iy menerangkan lebih lanjut, bahwa golongan yang didorong oleh
dorongan ilmiah, sangat sedikit yang salah pemahamannya tentang Islam dan
peninggalan Islam. Karena mereka tidak sengaja untuk menyelewengkan agama Islam
dan memasukkan yang bukan-bukan ke dalam Islam.
Orientalisme memang bukan kajian obyektif dan tidak memihak Islam maupun kebudayaannya, yang diupayakan secara mendalam bukanlah untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik dan orisinil, melainkan hanya rencana jahat yang terorganisasikan untuk menghasut para pemuda kita agar memberontak terhadap agama mereka, dan mencemooh semua warisan sejarah Islam dan kebudayaannya sebagai warisan yang tidak berguna. Sasaran yang hendak dicapainya adalah mencipta kekeliruan sebanyak-banyaknya di kalangan pemuda-pemuda yang belum matang dan mudah ditipu itu dengan cara menanamkan benih keraguan, sinisisme dan skeptisisme. Para orientalis juga mendorong setiap orang munafik, setiap kelompok yang tampak di permukaan untuk menanamkan perpecahan dan persengketaan di kalangan para pemimpin muslimin.
Orientalisme memang bukan kajian obyektif dan tidak memihak Islam maupun kebudayaannya, yang diupayakan secara mendalam bukanlah untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik dan orisinil, melainkan hanya rencana jahat yang terorganisasikan untuk menghasut para pemuda kita agar memberontak terhadap agama mereka, dan mencemooh semua warisan sejarah Islam dan kebudayaannya sebagai warisan yang tidak berguna. Sasaran yang hendak dicapainya adalah mencipta kekeliruan sebanyak-banyaknya di kalangan pemuda-pemuda yang belum matang dan mudah ditipu itu dengan cara menanamkan benih keraguan, sinisisme dan skeptisisme. Para orientalis juga mendorong setiap orang munafik, setiap kelompok yang tampak di permukaan untuk menanamkan perpecahan dan persengketaan di kalangan para pemimpin muslimin.
Kita
benar-benar yakin bahwa orientalisme dan modernisasi tidak bisa dipisahkan satu
sama lain. Di lihat dari sudut pandang ideologi, tidak ada perbedaan sama
sekali di antara keduanya.
4. Tahapan
Perkembangan Orientalist
Penyebab langsung munculnya orientalis atau ahli ketimuran adalah
adanya studi-studi yang dilakukan oleh ilmuan Barat tentang ketimuran
baik berupa sastra, sejarah, adat-istiadat, politik, lingkungan, maupun agama di
Timur Asia termasuk Islam.
Minat orang Barat untuk meneliti masalah-masalah ketimuran sudah
berlangsung sejak abad pertengahan. Mereka malahirkan sejumlah
karya-karya yang menyangkut masalah ketimuran. Dalam rentang
waktu antara abad pertengahan sampai abad ini, secara garis besar
orientalisme dapat dibagi tiga periode, yaitu (1) masa sebelum meletusnya
perang salib di saat umat Islam berada dalam zaman keemasannya
(650-1250); (2) masa perang salib sampai masa pencerahan
di Eropa; dan (3) Munculnya Masa Pencerahan di Eropa sampai
sekarang[11].
a. Masa Sebelum Meletusnya Perang Salib
atau Masa Keemasan Dunia Islam
Ada pendapat yang mengatakan bahwa pada
abad pertengahan pandangan orang Eropa tentang Islam berasal dari gagasan kitab
suci dan teologis. Oleh karena itu, mitologis, teologis dan misionerlah
yang berperan memberikan rumusan untuk mengembangkan wacana resmi mengenai
Islam bagi kaum gereja. Secara mitologis, kaum muslim dipahami
sebagai kaum Arab (saracen) keturunan Ibrahim (Abraham) melalui
budaknya, Hajar (Hagar) dan putera mereka, Ismail (Ishmael)[12].
Pada zaman keemasan dunia Islam,
negeri-negeri Islam, khususnya Baghdad dan Andalusia (Spanyol) menjadi pusat peradaban
dan ilmu pengetahun. Bangsa-bangsa Eropa yang menjadi penduduk
asli Andalusia meggunakan bahasa Arab sebagai alat komunikasi
dan adat istiadat Arab dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka menuntut ilmu di
perguran-perguruan Tinggi Arab. Sejarah mencatat
bahwa di antara raja-raja Spanyol yang non muslim ada yang hanya
mengenal huruf Arab (misalnya, Peter I (w. 1140, raja Aragon).
Raja Alfonso IV mencetak uang dengan
huruf Arab. Hal ini sama dengan di Sicilia, Raja
Normandia, Ronger I menjadikan istananya sebagai
tempat para filosof, dokter-dokter, dan ahli Islam lainnya dalam
berbagai ilmu pengetahuan. Keadaan ini berlanjut sampai Ronger
II. Dimana pakaian kebesarannya digunakan pakaian Arab, bahkan
gerejanya dihiasi dengan ukiran Arab. Wanita kristen Sicilia meniru
wanita Islam dalam berbusana.
Peradaban Islam itu bukan hanya
berpengaruh bagi bangsa Eropa yang berada di bawah
atau bekas kekuasaan Islam, tetapi juga bagi
orang Eropa di luar daerah itu. Penuntut ilmu dari Perancis, Inggris,
Jerman dan Italiah datang belajar ke perguruan Tinggi dan Universitas
yang ada di Andalusia dan Sicilia. Di antara mereka itu adalah
pemuka-pemuka Kristen, misalnya Gerbert d'Aurillac yang belajar
di Andalusia dan Adelard dari Bath (1107-1135) yang belajar di
Andalusia dan Sicilia. Gerbert d'Aurillac kemudian menjadi Paus di Roma
dari tahun 999-1003 dengan nama Sylverster II. Adapun Adelard
setelah kembali ke Inggris di angkat menjadi guru Pangeran Henry
yang kelak menjadi raja. Ia menjadi salah satu penerjemah buku-buku
Arab ke dalam bahasa Latin[13].
Dalam suasana inilah muncul orientalisme
di kalangan Barat. Bahasa Arab mulai dipandang sebagai bahasa yang harus dipelajari dalam
bidang ilmiah dan filsafat. Pelajaran Bahasa Arab dimasukkan ke
dalam kurikulum di berbagai pergurun Tinggi Eropa, seperti di Bologona
(Italia) pada tahun 1076, Chartres (Prancis) tahun 1117, Oxford
(Inggris) tahun 1167, dan Paris tahun 1170. Muncullah penerjemah
generasi pertama, Constantinus Africanus (w. 1087) dan Gerard
Cremonia (w. 1187).
Tujuan orientalisme pada masa ini adalah
memindahkan ilmu pengetahuan dan filsafat dari dunia Islam ke Eropa. Tujuan ini meningkatkan
minat mereka dalam mempelajari bahasa Arab di Universitas-universitas.
Di Italia pelajaran Bahasa Arab diadakan di Roma
(1303), Florencia (1321), Padua (1361) dan Gregoria (1553); di Perancis
pada tahun 1217, montipellier 1221, Bordeaux 1441; di Inggris
dilaksanakan di Cambrige tahun 1209, sedangkan di bagian Eropa
dimulai pada abad ke 15.
b. Masa Perang Salib sampai Masa Pencerahan
di Eropa
Perang salib antara umat Islam Timur dan
Kristen Barat yang menghabiskan tenggang waktu antara tahun 1096-1291 membawa kekalahan
bagi Karisten. Namun demikian bukan berarti umat Islam tidak
menderita. Akibat perang salib putra-putra terbaik bangsa gugur di
medan tempur. Aset-aset dan kekayaan negara berupa sarana dan prasarana
pada saat itu, banyak mengalami kehancuran. Kemiskinan, dekadensi
moral dan kebodohan terjadi akibat perhatian para pemimpin terpokus kepada pertahanan kekuasaan dari serangan tentara
Salib. Oleh karena itu, umat Islam tidak mendapatkan keuntungan
apapun dari perang salib, selain dari kehancuran.
Sebaliknya, meskipun umat Kristen
dinyatakan kalah, tetapi Kontak Islam-Kristen ini mempunyai
sumbangsih yang sangat besar terhadap lahirnya
rennaisance kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan di Eropa
setelah bangsa Eropa tenggelam dalam lautan kegelapan (Nasution,
1996:302).
Pada periode awal perang salib ini,
dibentuklah studi Islam untuk tujuan misi pada abad
ke 12 pada masa Peter Agung (sekitar 1094-1156
M), kepala Biara Pria Cluny di Prancis yang hingga saat ini
menjadi lembaga utama pengetahuan Kristen. Pada tahun 1142 Peter
sebagai kepala lembaga mengadakan perjalanan ke Spanyol untuk
mengunjungi biara-biara Clunic. Pada saat inilah beliau memutuskan
untuk melakukan sebuah proyek besar untuk melibatkan beberapa
penerjemah dan sarjana, untuk memulai studi sistematis tentang
Islam. Ketika Peter memberikan otoritas untuk penerjemahan dan
penafsiran teks-teks Islam yang berbahasa Arab terjadilah cerita-cerita cabul
tentang Nabi Muhammad. Cerita itu melukiskan Muhammad
sebagai Tuhan, pendusta, penggemar wanita, seorang kristen
yang murtad, tukang sihir dan sebagainya (Esposito, et al, 2001:2). Korpus (kumpulan naskah) Cluniac yang dikenal sebagai usaha Peter
ini, menjadi standar pengetahuan kesarjanaan Barat tentang Islam
pada saat itu (Esposito, et al, 2001:2). Banyak teks Islam yang berbahasa
Arab diterjemahkan termasuk Alquran, hadis, biografi Nabi (sirah) dan teks opologetik "Opologi Alkindi" yang memuat perdebatan
antara Kristen dan Muslim yang terjadi pada khalifah al-Ma'mun (813-833). Karya
al-Kindi ini sangat populer di kalangan sarjana
Kristen pada abad pertengahan karena memberikan model argumentasi
tentang Islam. Fokus serangan-serangan ini khususnya adalah
Alquran, kenabian Muhammad, dan penyebaran agama melalui penaklukan
(jihad). Tiga topik ini merupakan fokus utama dalam telaah
para sarjana Kristen tentang Islam pada abad pertengahan.
Dalam situasi sosial politik ini,
ternyata aktivitas penerjemahan jauh lebih menarik di Eropa
Kristen. Pada akhir abad ke 12 muncul sekumpulan
karya peripatetik Muslim Ibn Sina (w. 1037) dan beredar di
Eropa. Semakin banyaknya karya filosofis dan ilmiah diterjemahkan
dari bahasa Arab ke bahasa Latin, para sarjana Eropa akhir
abad pertengahan memandang Dunia Muslim kontemporer sebagai
peradaban sarjana dan filosofis, yang sangat kontras dengan popularitas
pandangan menghina Muhammad dan praktik religious Islam
(Esposito, et al, 2001:2). Sebab lain yang menyebabkan dunia Islam
dihormati adalah akibat kesuksesan militer dan diplomasi Ayyubiyah,
Shalah al-Din (1138-1193) terhadap perang salib.
Sehingga kaum Kristen, baik dari
kalangan sarjana, maupun pendeta pada saat itu, selain
menghormati, juga mengamati sikap dan praktek religius
yang shaleh dari umat Islam.
c.
Munculnya Masa Pencerahan di Eropa sampai Sekarang
Ketegangan antara Kristen dan Islam yang
timbul akibat adanya tulisan-tulisan negatif dari para orinetalis yang dialamatkan
kepada Islam dan umat Islam mulai mereda setelah memasuki masa pencerahan
(Enlightenmen) di Eropa yang diwarnai keinginan mencari kebenaran
(Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1999:56). Sikap positif ini
muncul akibat adanya perubahan religius, politik, dan intelektual yang
mendalam pada reformasi pada abad ke 16 (Esposito, et al, 2001:3).
Pada masa pencerahan ini kekuatan rasio
mulai meningkat, dimana sebuah tulisan yang dibutuhkan adalah objektif, bukan mengada-ada.
Mulailah muncul karya-karya mengenai Islam yang mencoba
bersifat positif, misalnya tulisan Voltaire (1684-1778) dan Thomas
Carlyle (1896-1947). Tidak semua tulisan mengenai Islam mengandung
serangan-serangan dan menjelek-jelekkan, akan tetapi mulai
ada penghargaan terhadap Nabi Muhammad saw dan Alquran serta
ajaran-ajarannya.
Setelah masa pencerahan datanglah masa
kolonialisme. Orang Barat datang ke dunia Islam untuk berdagang dan kemudian juga untuk
menundukkan bangsa-bangsa Timur. Untuk itu bangsa-bangsa Timur
perlu diketahui secara dekat, termasuk agama dan kultur mereka,
karena dengan itu hubungan menjadi lancar dan mereka lebih mudah
ditundukkan. Pada masa ini muncullah karya-karya yang mencoba
memberikan gambaran tentang Islam yang sebenarnya (Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, 1999:56). Misalnya, tentang agama
dan adat istiadat Indonesia, mucnul tulisan-tulisan Marsden, Affles,
Wilken, Keyser, Snounk Hurgrunje, Vollenhoven dan sebagainya.
Bahkan pada saat Napoleon datang ke Mesir pada tahun 1789,
ia membawa sejumlah orientalis untuk mempelajari adat-istiadat, ekonomi, pada
petanian Mesir. Di antara orientalis itu adalah Langles
(ahli bahasa Arab), Villteau (mempelajari musik Arab), dan Marcel
(mepelajari sejarah Mesir).
Pada periode ini tulisan-tulisan
orientalis ditujukan untuk mempelajari Islam seobjektif
mungkin, agar dunia Islam diketahui dan dipapahami
lebih mendalam. Hal ini perlu karena orientalisme tidak bisa
begitu saja terlepas dari kolonialisme, bahkan juga usaha kristenisasi
(Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,1999:57; Hanafi, 2000:27).
Namun begitu, awal abad ke-20 juga
ditandai dengan munculnya para orientalis yang berusaha menulis dunia Islam secara ilmiah
dan objektif. Orientlaisme dijadikan sebagai usaha pemahaman terhadap
dunia Timur secara mendalam. Dalam tradisi ilmiah yang baru
ini, bahasa Arab dan pengenalan teks-teks klasik mendapat kedudukan
utama. Di antara mereka itu adalah Sir Hamilton A.R. Gibb,
Louis Massingnon, W. C. Smith, dan Frithjof Schuon.
Sir Hamilton A. R. Gibb sangat mengusai
bahsa Arab dan dapat berceramah dengan bahasa Arab, sehingga ia diangkat menjadi anggota
al-Majma' al-'Ilm al-'Arabi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Arab)
di Damaskus dan al-Majma' al-Lughah al-Arabiyah (Lembaga Bahasa
Arab) di Cairo, Mesir. Ia memandang Islam sebagai agama yang
dinamis dan Nabi Muhammad saw mempunyai akhlak yang baik dan
benar. Gibb menulis buku tentang Islam dalam berbagai aspeknya sehingga
mencapai lebih dari 20 buah, sehingga oleh orientalis lain ia dipandang
sebagai Imam mereka tentang Islam.
Sama seperti Gibb, Louis Massingnon juga
mahir berbahasa Arab dan menjadi anggota al-Majma' al-Ilm al-'Arabiy serta
al-Majma' al-Lughawi. Ia pernah menjadi dosen filsafat Islam di Universitas Cairo.
Ia mengatakan bahwa berkat adanya tasawuf, Islam menjadi agama
internasional yang pengiktunya ada diseluruh dunia (Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam,1999:57).
W.C. Smith mempunyai ilmu yang mendalam
tentang Islam. Ia adalah pendiri Institut pengkajian Islam di Universitas McGill di Montreal,
Canada. Ia mengatakan bahwa Tuhan ingin menyampaikan risalah
kepada manusia. Untuk itu Tuhan mengirim rasul-rasul dan salah
satu di antara rasul itu ialah Nabi Muhammad saw. Frithof
Schuon menulis buku dengan judul Understanding Islam yang mengdapat sambutan baik di dunia Islam. Sayid Hussein
an-Nashr (ahli ilmu sejarah dan filsafat), misalnya, menyebut buku tersebut
sebagai buku terbaik tentang Islam sebagai agama dan tuntutan
hidup.
Meskipun demikian, tidak semua pendapat
yang ditulis oleh para orientalis modern tentang Islam dapat diterima oleh rasa keagamaan
umat Islam, meskipun secara rasional pendapat tersebut benar.
Beberapa di antara mereka tidak luput dari kesalahan dalam memberikan
interpretasi terhadap ajaran-ajaran Islam, di samping juga banyak
yang benar.
Kegiatan-kegiatan para orientalis
meliputi : (1) mengadakan kongres-kongres secara
teratur yang dimulai di Paris (1873) dan di kota-kota
lain di dunia secara bergantian. Kongres-kongres pada mulanya
bernama Orientalits Congres. Sejak tahun 1870 dan telah berganti
nama menjadi internasional Congress on Asia and Norrth Africa;
(2) mendirikan lembaga-lembaga kajian
ketimuran, di antaranya Ecole des Langues Orientalis Vivantes (1975) di
Perancis, the Schooll of Ariental and African Studies, Universitas London, (1917)
di Inggris, Oosters Institut (1971) di Universitas Leiden, dan Institut
Voor het Moderne Nabije Oosten (1956) di Universitas Amsterdam;
(3) mendirikan organisasi-organisasi ketimuran, misalnya Societe
Asiatique (1822) di Paris, American Oriental Society (1842) di
Amerika Serikat, Royal Asiatic Society di Inggris, dan Oosters Genootschap
in Nederland (1929) di Leiden; dan (4) menerbitkan majalah-majalah,
di antaranya Jurnal Asiatique (1822) di Paris, Journal
of the Royal Asitic Society (1899) di
London, Journal of the American Oriental Society (1849) di Amerika Serikat, Revaue du Monde Musulman (1907) di
Perancis, Der Islam-Zeustschrift fur Gesehichte und Kultur des Islamiscen (1919) di Jerman, The Muslim World (1917) di
Amerika Serikat, dan Bulletin of the School of Oriental an African
(1917) di London. Majalah-majalah ini sebagian besar
tertib samapi sekarang.
5.
Ruang Lingkup Orientalist
Secara
garis besar para orientalis melakukan penyelidikan meliputi berbagai bidang
antra lain:
1)
Bidang kepurbakalan (archeology)
2)
Bidang sejarah (history)
3)
Bidang Agama (religion)
4)
Bidang kesusastraan (literatures)
5)
Bidang keturunan(etnology)
6)
Bidang kemasyarakatan ( sosiology)
7)
Bidang adat istiadat (Custom)
8)
Bidang kekuasaan (politic)
9)
Bidang kehidupan (ekonomi)
10)
Bidang lingkungan ( flora
dan fauna)
11)
Bidang lain-lainnya[14].
Dalam
kajian orientalisme mempunyai karakter khusus yang merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari pemahaman orientalisme itu sendiri yaitu Orientalisme
merupakan suatu kajian yang merupakan suatu ikatan yang sangat erat hubunganya
dengan kolonial barat. Khususnya kaun kolonial Britania dan Perancis sejak
akhir abad 18 hingga usai perang dunia kedua. Kemudian dilanjutkan oleh
kolonial Amerika (sebagai simbol kolonial barat) hingga dewasa ini.
Jadi
fenomena orientalisme berkaitan erat dengan kolonialisme. Dimana ada
kolonialisme , disitu pula ada orientalisme. Semua negara barat yang penjajah,
mempunyai organisasi orientalisme. Orientalisme merupakan gerakan yang
mempunyai ikatan yang sangat kuat dengan gerakan kristenisasi. Hal ini terbukti
dengan membengkaknya jumlah kaum nasrani yang mensepesialisasikan dirinya dalam
sekolah kepasturan untuk mengkaji kitab-kitab perjanjian lama dan perjanjian
baru. Kemudian mereka dipersiapkan secara khusus ( dengan bekerja sama
orientalisme yahudi) untuk mempelajari tentang Islam dan kaum muslimin, dengan
tujuan yang beraneka ragam. Antar lain mengenal lebih jauh masalah-masalah yang
mungkin dapat digunakan sebagai sarana untuk mengotori citra Islam, menumbuhkan
rasa perselisihan dikalangan umat Islam, serta menumbuhkan rasa keragu-raguan
terhadap ajaran agama Islam dan berusaha semaksimal mungkin untuk memurtadkan
umat ialam.
Orientalisme merupakan kajian gabungan yang kuat anyara
kolonialisme dengan gerakan kristenisasi, yang validitas ilmiah dan
obyektifitasanya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara mutlak, khususnya
daam mengutarakan kajian tentang Islam. Yang demikian itu mereka lakukan dengan
menggunakan segala bentuk sarana dan prasarana. Antar lain seruan untuk
memajukan dan mengaktualisasikan evolusi Islam, westernisasi, dan modernisasi,
asimilasi kebudayaan, ateisme,nasionalisme, dialog pendekatan antar agama.
Orientalisme merupakan bentuk kajian yang dianggap paling
potensial bekerja sebagai konsultan bagi negara dalam merencanakan politik
mereka guna diterapkan pada satu wilayah jajahan yang dibarengi dengan gerakan
kristenisasi diseluruh wilayah yang penduduknya beragama Islam.
6.
Pendekatan yang
dilakukan Orientalsit
Studi
yang dilakukan para orientalis berangkat dari pradigma berfikir bahwa Islam
agama Islam yang bisa siteliti deri sudut mana saja dan dengan kebebasan
sedemikian rupa. Tidak mengherankan kalau mereka begitu bebasnya menilai,
mengritik bahkan melucuti ajaran-ajaran dasar Islam yang bagi kaum Muslim tabu unuk
dopermasalahkan.
Studi
yang meeka lakukan meliputi seluruh aspek ajaran Islam seperti sejarah, hukum, teologi,
quran, hadist, tasauf, bahasa, politik, kebuyaan dan pemikiran. Di antara
mereka ada yang mengkaji Islam meliputi seluruh aspek tadi, ada juga yang hanya
meneliti satu aspek saja. Philiph K Hiti, HAR Gibb, dan Montgomery Joseph
Schact pada kajian hukum Islm, David Power pada kajian Quran, dan A J Arberry
pada aspek tasauf.
Sekurang-kurangnya terdapat enam dogma orientalisme, yaitu
pertama, ada perbedaan mutlak dan perbedaan sistematik antara Barat yang
rasional, maju, manusiawi dan superior, dengan Timur yang sesat, irrasional,
terbelakang dan inferior. Menurut anggapan mereka, hanya orang Eropa dan
Amerika yang merupakan manusia-penuh, sedangkan orang Asia-Afrika hanya
bertaraf setengah-manusia[15].
Orientalisme memandang Timur sebagai sesuatu yang
kebaradaannya tidak hanya disuguhkan melainkan juga tetap tinggal pasti dalam
waktu dan tempat bagi Barat. Seluruh periode sejarah budaya, politik dan sosial
timur hanyalah dianggap sebagai tanggapan semata-mata terhadap Barat. Barat
adalah pelaku (actor),sedangkan Timur hanyalah penanggap (reactor) yang fasif.
Barat adalah penonton, penilai dan juri bagi setiapsegi tingkah laku Timur[16].
Sikap-sikap
orientalis kontemporer, lanjut Said, telah menguasai pers dan pikiran
masyarakat. Orang-orang Arab, umpamanya, dianggap si hidung belang yang senang
menerima suap yang kekayaannya merupakan penghinaan terang-terangan terhadap
peradaban sejati. Selalu ada asumsi bahwa meskipun konsumen Barat tergolong mitoritas
dari penduduk dunia, mereka berhak untuk memiliki atau membelanjakan sebagian
besar sumber daya dunia[17].
Kedua,
abstraksi dan teorisasi tentang Timur lebih banyak didasarkan pada teks-teks
klasik, dan hal ini lebih diutamakan dari peda bukti-bukti nyata dari mayarakat
Timur yang konkret dan riil. Dalam masalah ini, para orientalis tidak bias
mengelakan tuduhan Edward W Said baha mereka tidak mau menyelidiki perubahaan
yang terjadi dalam masyarakat Timur, tetapi lebih mengutamakan isi teks-tek kuno
sehingga orientalisme berputar-putar di sekitar studi tekstual, tidak
realistis. Philiph K Hitti, umpanya, mengatakan bahwa untuk mempelajari Islam
dan umatnya tidak diperlukan kerangka teori baru karena, menuutnya, masyarakat Islam
yang sekarang Sembilan abad yang lalu.
Keempat,
pada dasarnya Timut itu merupakan sesuatu yang perlu ditakuti, atau sesuatu
yang perlu ditaklukkan. Apabila seseorang orientalis mempelajari Islam dan
umatnya, keempat dogma itu perlu ditambah dengan dua dogma pokok lainnya.
Kelima,
al-Quran bukanlah wahyu Ilahi, melainkan buku karangan Muhammad yang merupakan
gabungan unsur-unsur agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab pra-Islam. Seorang
orientalis bernama Chateaubriand, misalnya, mengindoktrinasi murid-muridnya
bahwa al-Quran itu sekedar buku karangan Muhammad. Al-Quran tidak memuat
prinsip-prinsip peradaban maupun ajaran yang memperluhur watak manusia. Ia
bahkan mengatakan, al-Quran tidak mengutuk tirani dan iak mengajurkan cinta
pada keerdekaan.
Keenam,
kesahihan atau orientisitas semua hadis harus diragukan. Malah ada yang
mengeritik syarat-syarat sehihnya hadist seperti yang dilakukan Joseph Schacht.
Amien Rais menyindir bahwa disamping ada hadis riwayat Bukhari dan Muslim ada
juga “hadis riwayat Josep Schacht”.
7.
Relevansi Kajian
Orientalist
Berbagai
macam tanggapan kaum Muslimin terhadap orientalisme. Sebagian mereka ada yang
menganggap seluruh orientalis sebagai musuh Islam. Mereka bersikap ekstrim dan
menolak seluruh karya orientalis. Bahkan di antara mereka ada yang secra emosional
menyatakan bahwa orang Islam yang mempelajaritulisan orientalis termasuk antek
Zions[18].
Kajian Islam yang
dilakukan para orientalis seringkali dipandang oleh kalangan Muslim
tidak untuk memahami Islam secara benar, tetapi untuk mendeskreditkannya. William
G. Millward, misalnya, menemukan kecurigaan kalangan Muslim terhadap kejujuran
akademik kaum orientalis tadi dalam banyak literatur yang mereka tulis. Millward
membandingkan, berbeda dengan penulis Muslim Arab yang biasanya lebih rasional
dalam mengkritisi hasil kajian para orientalis tentang Islam, penulis Muslim
Iran umumnya sangat apologetik, hingga kritik mereka terkesan emosional
dan tidak argumentatif. 1 Penulis Muslim yang mempertanyakan kejujuran akademik para
orientalis tersebut terutama meragukan objektifitas kajian mereka tentang
al-Qur’an serta Nabi Muhammad saw. Para penulis Muslim ini menganggap bahwa sanggahan
terhadap hasil penelitian mereka yang sangat merugikan Islam tersebut harus
dilakukan, agar ajaran Islam bisa dikembalikan
kepada pemahaman yang autentik, sebagaimana yang diyakini oleh
pemeluknya.2
Secara sederhana, kata
orientalis bisa diartikan “seseorang yang melakukan kajian tentang
masalah-masalah ketimuran, mulai dari sastra, bahasa, sejarah, antropologi, sosiologi,
psikologi sampai agama dengan menggunakan paradigma Eurocentrisme, hingga
menghasilkan konklusi yang distortif tentang objek kajian dimaksud.” Perkembangan
orientalisme moderen berawal dari kajian terhadap Islam sebagai fenomena
budaya yang tercermin dalam perilaku dan karakter spesifik pemeluknya.
Mereka
mempunyai argument bahwa orientalisme bersumber pad aide-ide Kristenisasi yang
menurut Islam sangat merusak dan bertujuan menyerang banteng pertahanan Islam
dari dalam. Karena pada Faktanya tidak sdikit karya-karya orientalis yang
bertolak belakang dengan Islam. H.A.R.Gibb, misalnya, dalam karyanya
Mohammedanism berpendapat bahwa al-Quran hanyalah karangan nabi Muhammad; juga
dengan menanamkan Islam sebagai Mohammedanism, Gibb mencoba menurunkan derajat
kesucian agama wahyu ini, padahal ia tahu persis tak ada seorang manusia Muslim
pun berpendapat bahwa Islam adalah ciptaan Muhammad SAW[19].
Karakter Orientalisme yaitu: pertama, orientalisme adalah
suatu kajian yang mempunyai ikatan yang sangat erat dengan kolonialisme Barat;
kedua, gerakan yang mempunyai ikatan yang sangat kuat dengan kristeniasi;
ketiga, orientalisme merupakan kajian gabungan yang kuat antara kolonialisme
dengan gerakan Kristenisasi yang validitas ilmiah dan obyektivitasnya tidak
dapat dipertanggung jawabkan secara mutlak khususnya dalam mengutarakan kajian
tentang Islam; keempat, orientalisme merupakam bentuk kjian yang dianggap
paling potensial dalam politik Barat untuk malawan Islam[20].
Sebagian
lagi bersikap lebih toleran dan mereka terbagi dalam dua kelompok, bersikap
sangat berlebihan, artimya semua karya tulis kaum orientalis samgat obyektif
dan dapat dipercaya.
Kelompok
lain bersikap hati-hati dan kritis; mereka selalu berusaha berpijak pada
landasan keilmuan. Menurut mereka, cukup banyak karya tulis kaum orientalis
obyektif tentang Islam dan umatnya, karena memang tidak semua karya orientalis
bertolak belakang dengan Islam melainkan hanya sebagian kecilnya saja.
Maryam
Jamilah menyatakan bahwa orientalisme tidak sama sekali buruk. Sejumlah pemikir
besar di barat, kata Jamilah, telah menghabiskan umurnya untuk mengkaji Islam
lantaran mereka ecara jujur tertarik terhadap kajian-kajian itu. Tanpa usaha
mereka, banyak diantara pengethuan berharga dalam buku-buku Islam kuno akan
hilang tanpa bekas atau tidak terjamah orang[21].
Para orientalis dari inggris seperti mendiang Reynold Nicholson dan Arthur J.
Arberry brhasil menulis karya penting beripa penerjemah karya-karya Islam
klasik sehingga terjemahan-terjemahan itu untuk pertama kalinya dapat dikaji
oleh para pembaca di Eropa.
Pada
umumnya para orientalis itu bener-bener menekuni pekerjaan penerjemahan ini.
Mereka yang cenderung manbatasi cukupan pengkajiannya hanya pada deskripsi,
kadang-kadang berhasil menulis buku-buku yang sangat bermanfaat, informative
dan membuka cakrawala pemikiran baru. Persoalan timbul pada saat mereka
melangkah terlalu jauh dari batas-batas yang bener dan berusaha menafsirkan Islam
dan pristiwa –pristiwa yang terjadi di Dunia Islam berdasarkan
pendangan-pandangan pribadi yang tidak cocok.
Yang
paling jelek diantara mereka adalah para orientalis yang mencoba memberikan
saran kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita memecahkan
persoalan-persoalan kita dan apa yang seharusnya kita lakukan terhadap agama
kita[22].
Kritik tajam, ilmiah dan berdampak pada dunia orientalisme datang dari Edward W Said dalam karyanya
Orientalisme. Karya Guru besar Universitas Columbia, New York, ini telah
menimbulkan kehebohan da kontroversi di lingkungan dunia akademis Barat yang
biasa disebut kaum orientalis.
Menurut
Said, orientalisme bukna sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki
akar-akarpolitis, ekonomis, dan bahkan relijius. Secara politis, penelitian,
kajian dan pandangan Barat tentang dunia “oriental” bertujuan umtuk kepentingan politik
kolonialisme Eropa untuk menguasai wilayah-wilayah muslim. Dan kolonialisme
Eropa tak bias lain berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan sekaligus juga
kepentingan keagamaan; tegasnya penyebaran Kristen.
Ketiga
kepentingan yang saling terkait satu sama lain ini tersimpul dalam slogan yang
sangat terkenal tentang ekspansi Eropa ke kaasan dunia Islam, yang mencangkup
3G yakni Glory, Gold and Gospel: “kejayaan, kekayaan ekonomi dan
penginjilan.”
Semua
motif dan kepentingan orientalisme ini secara implicit juga bersifat rasis. Dan ini tercermin dalam slogan missi
“pembudayaan” terhadap duinia timur”yang terbelakang”,jika tidak”primitive”.
C. PENUTUP
Orientalisme merupakan gabungan dari kata oriental dan isme.
Orient dalam bahasa Prancis sendiri berarti Timur baik secara geografis maupun
etnologis. Sedangkan Ism dalam bahasa Inggris atau isme dalam
bahasa Belanda berarti faham. Jadi orientalisme ialah suatu faham atau aliran
yang mengkaji dan meneliti segala sesuatu tentang Dunia Timur baik dari segi
agama-agama, kebudayaan dan peradaban maupun ilmu-ilmu didalamnya.
Sejarah orientalisme secara nyata telah berkembang sekitar abad ke-X M dan
masih berlangsung hingga kini. Meskipun begitu pergesekan ini telah dimulai
sejak masa kejayaan Islam dimana banyak sekali kaum Barat yang menimba ilmu dan
belajar di Dunia Timur terutama Islam karena kejayaannya.
Ruang lingkup objek penelitian orientalisme ini sebenarnya sangat luas
karena mencakup agama, budaya, bahasa, sastra, etnologis, politik dan
sebagainya. Namun kajian orientalisme dalam cakupan sempitnya mengkaji
ilmu-ilmu keagamaan khususnya teks-teks kitab suci dan faham serta
konsep-konsep ke-Islaman.
[3]
Edward W Said, Orietalism diterjemahkan oleh Asep Hikmah dengan judul Orientalisme. Cet. III. (Bandung: Pustaka, 1996), h.3
[5]
M.Qadari Ahdal, Hiwarat Ma'a Urubiyyin Ghairu Muslimin diterjemahkan dengan judul Studi Wawancara dengan Sepuluh Tokoh Orientalis; Meneliti Persepsi Pakar
Barat Tentang Islam. (Surabaya:Pustaka
Progresif, 1996), h.v
[11] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam Jilid IV, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hooeve, 1999), h. 55
[12] John Esposito, at. al. The Oxford Ensyclopedia of the
ModernIslamic World diterjemahkan dengan oleh Eva Y.N dkk dengan judul Ensilopedi Oxford Dunia Islam Modern.
Jilid III. (Bandung: Mizan, 2001), h.1-2
[14]
http://asmara-ida.blogspot.com/2010/10/pengertian-ruang-lingkup-dan-sejarah.html
[20]
Ahmad Abdul Hamid Ghurab, menyingkap
Tabur Orientalisme, (Jakarta: pustaka al-Kautsar, 1993),
h. 21.
0 komentar:
Posting Komentar